Kominfo - Berbagai informasi
"hoax" atau palsu beredar di lini masa, menyebar lewat media sosial
seperti Facebook, Whatsapp dan lainnya.Pesatnya perkembangan telepon pintar
membuat publik semakin mudah mengakses beragam informasi dan berita hanya dalam
genggaman tangan, namun imbasnya informasi palsu ikut tersebar dengan mudah
yang bagi sejumlah orang malah diyakini sebagai kebenaran.Direktur Jenderal
Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid bahkan menyatakan
banyak profesor maupun doktor atau kalangan akademis yang percaya pada
"hoax". "Pengaruh media sosial memang luar biasa, tinggal kasih
foto dan judul langsung menyebar berita hoax tersebut," ujarnya.
Mereka
yang percaya pada kabar bohong tersebut, lanjut dia, sebagian besar adalah generasi
transisi. Generasi yang lahir belum bersinggungan dengan teknologi dan ketika
dewasa mulai kenal dengan teknologi.
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama dengan Kominfo pada
2015, diketahui yang menjadi korban berita bohong maupun pesan singkat penipuan
malah orang-orang yang mempunyai tingkat intelektualitas yang tinggi.
"Malah anak-anak yang lahir sudah bersinggungan dengan teknologi, tidak
mudah percaya dengan kabar bohong itu. Anak-anak itu lebih selektif karena bisa
melacak sumber berita itu dengan teknologi." Kabar bohong tersebut, juga
dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk membenarkan opininya terhadap suatu hal.
Hilmar menyebut bahwa mereka bukan mencari informasi tetapi konfirmasi.
Maraknya berita bohong ini juga
menjadi perhatian Kepala Negara yang mengeluarkan maklumat agar dilakukan
evaluasi terhadap media daring yang sengaja memproduksi berita bohong tanpa
sumber yang jelas, dengan judul provokatif dan mengandung fitnah. Ketua
Komunitas Masyarakat Indonesia Anti Fitnah Septiaji Eko Nugroho menilai
maraknya kabar hoax jika dibiarkan amat mungkin membuat perpecahan sesama anak
bangsa. Ia menjelaskan "hoax" merupakan informasi yang direkayasa
untuk menutupi informasi sebenarnya atau juga bisa diartikan sebagai upaya
pemutarbalikan fakta menggunakan informasi yang meyakinkan tetapi tidak dapat
diverifikasi kebenarannya.
"Hoax" juga bisa
diartikan sebagai tindakan mengaburkan informasi yang sebenarnya, dengan cara
membanjiri suatu media dengan pesan yang salah agar bisa menutupi pesan yang
benar," katanya. Ia melihat penyebaran "hoax" mulai marak sejak
media sosial populer digunakan oleh masyarakat Indonesia karena sifatnya yang
memungkinkan akun anonim untuk berkontribusi, juga setiap orang tidak peduli
latar belakangnya punya kesempatan yang sama untuk menulis.
Menurutnya maraknya peredaran
informasi "hoax" dipicu dua motif yaitu ekonomi dan politik. Ada
situs-situs yang memang sengaja dibuat dengan tujuan mendapatkan kunjungan
sebanyak mungkin, dengan membuat berita penuh sensasi. Selain itu ada juga yang
motifnya untuk menyalurkan aspirasi politik melalui media sosial dengan membuat
kabar palsu, lanjutnya. Septiaji mengemukakan sejumlah tips untuk mendeteksi
informasi hoax agar pengguna media sosial tidak termakan berita fitnah, hasut
dan hoax.
Pertama, lakukan cek silang jika
menemukan judul berita yang provokatif dengan menggunakan mesin pencari google
untuk memastikan apakah berita yang dibaca, ditulis dan diterbitkan oleh situs
berita lain, kata dia. Kemudian bandingkan judul dan isi dari masing-masing
berita, sehingga bisa memperoleh kesimpulan yang lebih berimbang dari beberapa
sudut pandang, katanya.
Berikutnya netizen harap
memperhatikan alamat situs web dan media yang menerbitkan, jika yang memuatnya
adalah situs abal-abal, tidak terdaftar dalam Dewan Pers, maka harus lebih
berhati-hati untuk mempercayainya. Ia mengingatkan situs yang masuk dalam dewan
pers pun belum tentu beritanya semua benar, atau kadang berita itu dibuat
dengan sudut pandang tertentu, namun secara umum media resmi lebih kredibel
karena memiliki standar jurnalistik, mengikuti Pedoman Pemberitaan Media Siber
dan dapat dilaporkan ke Dewan Pers jika ada pelanggaran, jelasnya. "Ini
berbeda dengan situs abal-abal yang kadang tidak punya redaksi, bahkan tidak
disebutkan nama dan alamat penanggungjawab," ujarnya.
Setelah itu lakukan cek fakta
jika sumber informasi berasal dari sumber yang otoritatif, misalnya KPK, Polri,
maka itu adalah pernyataan resmi, namun jika sumber informasi berasal dari
pegiat ormas, tokoh politik, ataupun pengamat, jangan langsung dipercaya,
katanya. Ia mewanti-wanti agar memperhatikan keberimbangan berita, apakah hanya
memuat satu sumber, kemudian juga memuat sumber yang lain yang berseberangan,
jika hanya dari satu sumber saja, tidak bisa mendapatkan gambaran utuh kadang
pembaca bisa membuat kesimpulan yang keliru. Septiaji juga mengingatkan agar
masyarakat dapat membedakan antara fakta dan opini. Fakta adalah peristiwa yang
terjadi dengan kesaksian dan bukti. Opini adalah pendapat dan kesan dari
penulis berita. Semakin banyak fakta yang dimuat, semakin kredibel berita
tersebut. Sebaliknya, beberapa situs memang bertujuan menggiring pemikiran
pembaca dengan memperbanyak opini.
Selanjutnya perlu dilakukan cek
foto di dalam artikel berita karena terkadang pembuat berita palsu juga
mengedit foto untuk memprovokasi pembaca. Caranya, unduh atau screenshot foto
di artikel lalu buka Google Images di browser dan seret (drag) foto itu ke
kolom pencarian Google Images. Periksa hasilnya untuk mengetahui sumber dan
caption asli dari foto tersebut. Sekarang juga sudah bisa menggunakan aplikasi
Android untuk mengecek foto, pesannya.Lalu, masyarakat juga dapat bergabung
dengan Fanpage Anti-Hoax dan mengikuti Group Diskusi Anti Hoax.
Laporkan Konten Negatif
Septiaji mengajak masyarakat
untuk melapor jika menjumpai konten negatif di media sosial. Ia menerangkan ada
beberapa cara untuk melaporkan mulai dari menggunakan fitur Report Status di
Facebook, dan melaporkannya sebagai kategori hate speech atau kategori lain
yang sesuai. Jika ada banyak aduan dari
netizen, umumnya Facebook akan menghapus status tersebut, katanya.
Sedangkan untuk Google, bisa
menggunakan fitur Feedback untuk melaporkan situs yang keluar dari hasil
pencarian sebagai situs palsu yang tidak benar. Twitter pun memiliki fitur
untuk melaporkan twit yang negatif, dengan Report Tweet dan Instagram memiliki
fitur Report untuk melaporkan konten negatif, katanya. Ia juga mengajak publik
mengadukan konten negatif ke Kominfo dengan mengirimkan email ke
aduankonten@mail.kominfo.go.id.
(sm-RW010/I/2019/23)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar