Rabu, 09 Januari 2019

Melawan "Hoax"



Kominfo - Berbagai informasi "hoax" atau palsu beredar di lini masa, menyebar lewat media sosial seperti Facebook, Whatsapp dan lainnya.Pesatnya perkembangan telepon pintar membuat publik semakin mudah mengakses beragam informasi dan berita hanya dalam genggaman tangan, namun imbasnya informasi palsu ikut tersebar dengan mudah yang bagi sejumlah orang malah diyakini sebagai kebenaran.Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid bahkan menyatakan banyak profesor maupun doktor atau kalangan akademis yang percaya pada "hoax". "Pengaruh media sosial memang luar biasa, tinggal kasih foto dan judul langsung menyebar berita hoax tersebut," ujarnya.
Mereka yang percaya pada kabar bohong tersebut, lanjut dia, sebagian besar adalah generasi transisi. Generasi yang lahir belum bersinggungan dengan teknologi dan ketika dewasa mulai kenal dengan teknologi.


Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama dengan Kominfo pada 2015, diketahui yang menjadi korban berita bohong maupun pesan singkat penipuan malah orang-orang yang mempunyai tingkat intelektualitas yang tinggi. "Malah anak-anak yang lahir sudah bersinggungan dengan teknologi, tidak mudah percaya dengan kabar bohong itu. Anak-anak itu lebih selektif karena bisa melacak sumber berita itu dengan teknologi." Kabar bohong tersebut, juga dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk membenarkan opininya terhadap suatu hal. Hilmar menyebut bahwa mereka bukan mencari informasi tetapi konfirmasi.

Maraknya berita bohong ini juga menjadi perhatian Kepala Negara yang mengeluarkan maklumat agar dilakukan evaluasi terhadap media daring yang sengaja memproduksi berita bohong tanpa sumber yang jelas, dengan judul provokatif dan mengandung fitnah. Ketua Komunitas Masyarakat Indonesia Anti Fitnah Septiaji Eko Nugroho menilai maraknya kabar hoax jika dibiarkan amat mungkin membuat perpecahan sesama anak bangsa. Ia menjelaskan "hoax" merupakan informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi sebenarnya atau juga bisa diartikan sebagai upaya pemutarbalikan fakta menggunakan informasi yang meyakinkan tetapi tidak dapat diverifikasi kebenarannya.

"Hoax" juga bisa diartikan sebagai tindakan mengaburkan informasi yang sebenarnya, dengan cara membanjiri suatu media dengan pesan yang salah agar bisa menutupi pesan yang benar," katanya. Ia melihat penyebaran "hoax" mulai marak sejak media sosial populer digunakan oleh masyarakat Indonesia karena sifatnya yang memungkinkan akun anonim untuk berkontribusi, juga setiap orang tidak peduli latar belakangnya punya kesempatan yang sama untuk menulis.

Menurutnya maraknya peredaran informasi "hoax" dipicu dua motif yaitu ekonomi dan politik. Ada situs-situs yang memang sengaja dibuat dengan tujuan mendapatkan kunjungan sebanyak mungkin, dengan membuat berita penuh sensasi. Selain itu ada juga yang motifnya untuk menyalurkan aspirasi politik melalui media sosial dengan membuat kabar palsu, lanjutnya. Septiaji mengemukakan sejumlah tips untuk mendeteksi informasi hoax agar pengguna media sosial tidak termakan berita fitnah, hasut dan hoax.

Pertama, lakukan cek silang jika menemukan judul berita yang provokatif dengan menggunakan mesin pencari google untuk memastikan apakah berita yang dibaca, ditulis dan diterbitkan oleh situs berita lain, kata dia. Kemudian bandingkan judul dan isi dari masing-masing berita, sehingga bisa memperoleh kesimpulan yang lebih berimbang dari beberapa sudut pandang, katanya.

Berikutnya netizen harap memperhatikan alamat situs web dan media yang menerbitkan, jika yang memuatnya adalah situs abal-abal, tidak terdaftar dalam Dewan Pers, maka harus lebih berhati-hati untuk mempercayainya. Ia mengingatkan situs yang masuk dalam dewan pers pun belum tentu beritanya semua benar, atau kadang berita itu dibuat dengan sudut pandang tertentu, namun secara umum media resmi lebih kredibel karena memiliki standar jurnalistik, mengikuti Pedoman Pemberitaan Media Siber dan dapat dilaporkan ke Dewan Pers jika ada pelanggaran, jelasnya. "Ini berbeda dengan situs abal-abal yang kadang tidak punya redaksi, bahkan tidak disebutkan nama dan alamat penanggungjawab," ujarnya.

Setelah itu lakukan cek fakta jika sumber informasi berasal dari sumber yang otoritatif, misalnya KPK, Polri, maka itu adalah pernyataan resmi, namun jika sumber informasi berasal dari pegiat ormas, tokoh politik, ataupun pengamat, jangan langsung dipercaya, katanya. Ia mewanti-wanti agar memperhatikan keberimbangan berita, apakah hanya memuat satu sumber, kemudian juga memuat sumber yang lain yang berseberangan, jika hanya dari satu sumber saja, tidak bisa mendapatkan gambaran utuh kadang pembaca bisa membuat kesimpulan yang keliru. Septiaji juga mengingatkan agar masyarakat dapat membedakan antara fakta dan opini. Fakta adalah peristiwa yang terjadi dengan kesaksian dan bukti. Opini adalah pendapat dan kesan dari penulis berita. Semakin banyak fakta yang dimuat, semakin kredibel berita tersebut. Sebaliknya, beberapa situs memang bertujuan menggiring pemikiran pembaca dengan memperbanyak opini.

Selanjutnya perlu dilakukan cek foto di dalam artikel berita karena terkadang pembuat berita palsu juga mengedit foto untuk memprovokasi pembaca. Caranya, unduh atau screenshot foto di artikel lalu buka Google Images di browser dan seret (drag) foto itu ke kolom pencarian Google Images. Periksa hasilnya untuk mengetahui sumber dan caption asli dari foto tersebut. Sekarang juga sudah bisa menggunakan aplikasi Android untuk mengecek foto, pesannya.Lalu, masyarakat juga dapat bergabung dengan Fanpage Anti-Hoax dan mengikuti Group Diskusi Anti Hoax.

Laporkan Konten Negatif

Septiaji mengajak masyarakat untuk melapor jika menjumpai konten negatif di media sosial. Ia menerangkan ada beberapa cara untuk melaporkan mulai dari menggunakan fitur Report Status di Facebook, dan melaporkannya sebagai kategori hate speech atau kategori lain yang sesuai.  Jika ada banyak aduan dari netizen, umumnya Facebook akan menghapus status tersebut, katanya.

Sedangkan untuk Google, bisa menggunakan fitur Feedback untuk melaporkan situs yang keluar dari hasil pencarian sebagai situs palsu yang tidak benar. Twitter pun memiliki fitur untuk melaporkan twit yang negatif, dengan Report Tweet dan Instagram memiliki fitur Report untuk melaporkan konten negatif, katanya. Ia juga mengajak publik mengadukan konten negatif ke Kominfo dengan mengirimkan email ke aduankonten@mail.kominfo.go.id.
(sm-RW010/I/2019/23)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar